Diperiksa Kejagung Selama 10 Jam, Sandra Dewi Pilih Bungkam
Share
PENUTUR.COM – Artis Sandra Dewi kembali memenuhi panggilan Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 yang dilakukan sang suami, Harvey Moeis, Rabu (15/5).
Penyidik dari Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus memeriksa Sndra Dewi selama sekitar 10 jam sejak tiba di Gedung Kartika Kejaksaan Agung, pukul 08.00 WIB.
Sandra yang keluar dari gedung pemeriksaan sekitar pukul 18.30 WIB, tidak menjawab pertanyaan apapun yang diajukan olehpara wartawan.
Didampingi kuasa hukumnya, ia memilih langsung menuju mobil Toyota Innova berwarna hitam dan meninggalkan Gedung Kartika Kejaksaan Agung. Pemeriksaan hari ini diketahui merupakan yang kedua kalinya setelah sempat diperiksa pada Kamis (4/4) kemarin.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan pemeriksaan dilakukan penyidik untuk mendalami asal-usul kepemilikan dari istri tersangka Harvey Moeis tersebut.
“Pemeriksaan untuk mendalami kepemilikan harta dari yang bersangkutan,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (15/5).
Lebih lanjut, Ketut menegaskan adanya perjanjian pranikah terkait pemisahan harta antara Harvey dengan Sandra Dewi juga tidak bisa menghalangi proses penyidikan. “(Perjanjian pranikah) tidak berpengaruh dalam penyidikan perkara korupsi,” jelasnya.
Kejagung telah menetapkan total 21 tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah. Mulai dari Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani hingga Harvey Moeis sebagai perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin.
Kejagung menyebut nilai kerugian ekologis dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp271 Triliun berdasarkan hasil perhitungan dari ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo.
Nilai kerusakan lingkungan terdiri dari tiga jenis yakni kerugian ekologis sebesar Rp183,7 triliun, ekonomi lingkungan sebesar Rp74,4 triliun dan terakhir biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp12,1 triliun.
Kendati demikian, Kejagung menegaskan bahwa nilai kerugian tersebut masih belum bersifat final. Kejagung menyebut saat ini penyidik masih menghitung potensi kerugian keuangan negara akibat aksi korupsi itu.