Kegemukan Bukan Hanya Akibat Makanan Namun juga Akibat Kerja Otak
Share
PENUTUR.COM – Obesitas terjadi bila konsumsi energi lebih besar daripada yang digunakan tubuh.
Asupan kalori yang begitu banyak, tidak diimbangi dengan aktivitas untuk penggunaan energi hasil makanan tersebut.
Akibatnya, pemasukan dan pengeluaran energi tidak seimbang. Karena tidak dipakai sebagai energi, kalori akan menjadi lemak sebagai cadangan energi.
Jumlahnya akan meningkat atau berkurang tergantung bagaimana orang tersebut menggunakan energi.
Berat badan akan terjaga bila pemasukan energi melalui makanan seimbang dengan pemakaiannya.
Bila energi tidak dikeluarkan, lemak akan menumpuk dan terjadilah kelebihan berat badan.
Penyebab ketidakseimbangan energi ini berbeda pada setiap orang. Apa saja faktor yang menjadi biang keladi obesitas?
Faktor Lingkungan
Penyebab obesitas di Indonesia terutama akibat pola makan yang tidak sehat. Dengan kesibukan dan keterbatasan waktu, kita cenderung membeli makanan siap jadi (fast food) ketimbang memasak.
Di kota-kota besar, banyak restoran dan toko yang menjual makanan jadi, yang mengundang selera.
Celakanya, restoran fast food banyak menyajikan makanan berkalori atau berlemak tinggi, dan rendah nilai gizinya.
Para penggemar makanan siap saji tersebut umumnya para remaja dan keluarga muda.
Pasokan makanan yang masuk ke dalam tubuh perlu diimbangi dengan pengeluaran berupa energi.
Sayangnya, kita terlalu “malas bergerak”. Bekerja di belakang meja, selalu bepergian dengan menggunakan kendaraan ketimbang jalan kaki; atau lebih memilih memakai lift daripada naik tangga.
Untuk hiburan pun, kita lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi, ketimbang berolahraga.
Faktor Biologis
Obesitas juga bisa diturunkan dari keluarga. Jika kedua orangtua Anda menderita obesitas, ada kemungkinan Anda pun terkena obesitas.
Faktor genetis ini mempengaruhi metabolisme lemak, serta hormon dan protein yang mempengaruhi nafsu makan.
Sifat yang diturunkan antara lain, terkait dengan pendistribusian lemak, laju metabolisme, respon energi terhadap makan yang berlebihan, dan pilihan jenis makanan.
Obesitas bisa disebabkan oleh metabolisme dan kerja otak. Pola makan diatur oleh pusat makan dan rasa kenyang di otak.
Hipotalamus dan kelenjar pituitary otak merespon sinyal yang menandakan tingginya kadar lemak dan rasa lapar.
Ada beberapa zat yang mengontrol proses ini. Faktor genetis bisa menyebabkan ketidakseimbangan dari zat-zat tersebut.
Misalnya insulin, hormon yang mengubah glukosa menjadi energi. Gangguan kadar insulin bisa mendorongnya terjadi obesitas.
Kadar enzim leptin yang dilepaskan oleh sel lemak, akan meningkat bila sel lemak meningkat.
Bila kadar leptin tinggi, hipotalamus akan mendapat sinyal untuk menekan nafsu makan. Bila Anda menderita defisiensi leptin, otak Anda akan ‘tertipu’ dengan mengira tubuh masih kelaparan karena tidak adanya leptin yang dapat menekan nafsu makan.
Kadar lemak dalam tubuh juga diatur oleh mekanisme di otak, yang disebut adipostat, yang bekerja untuk mempertahankan berat badan.
Adipostat menentukan satu jumlah yang tetap untuk kadar lemak tubuh.
Otak mempertahankan jumlah ini dengan mengatur pengeluaran atau penyimpanan energi, sampai lemak yang tersimpan sesuai dengan yang ditetapkan adipostat.
Bila adipostat menetapkan lemak pada jumlah yang tidak sehat, Anda bisa menderita obesitas.
Pada kasus seperti ini, Anda akan sulit menurunkan berat badan. Karena, di saat Anda berusaha keras untuk diet, di sisi lain otak ‘sibuk’ mempertahankan berat badan sesuai kadar lemak yang ditetapkan adipostat.
Caranya, antara lain, dengan meningkatkan rasa lapar sehingga meningkatkan konsumsi kalori, atau memperlambat metabolisme dan aktivitas tubuh. Jadi, tak banyak kalori yang dibakar.
Faktor Psikologis
Bagaimana dengan faktor stres? Ada teori Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis kelahiran Freiber, 1856, yang menjelaskan mengapa stres bisa melipatgandakan nafsu makan.
Sewaktu bayi, setiap orang menjalani fase oral. Pada fase ini, perasaan bayi yang tidak nyaman (karena lapar, kedinginan, atau sakit) akan lenyap bila ada sesuatu yang dimasukkan ke dalam mulutnya, misalnya diberi ASI atau dot bayi.
Biasanya fase itu akan terlewati dalam masa satu sampai dua tahun. Tapi, bila fase oral tidak terlewati dengan baik, fase ini akan terbawa sampai usia dewasa.
Nah, bila di saat stres atau kondisi tidak nyaman, Anda mendapatkan kepuasan dengan cara makan, Anda tergolong orang yang tidak melewati fase oral dengan baik. Itu kata Freud.
Tampaknya wanita lebih banyak yang mengalami kelebihan berat dan obesitas. Hal itu mungkin disebabkan oleh aktivitas fisik yang relatif lebih sedikit pada wanita, dan kecenderungan wanita untuk makan banyak saat mengalami stres.
Selain itu, saat kehamilan dan setelah melahirkan, wanita umumnya menambah pemasukan makanannya demi menjaga kondisi agar produksi ASI banyak dan bayinya tetap sehat.
Faktor Lain
Meskipun bukan sebagai penyebab utama, gangguan kesehatan bisa mendorong terjadinya obesitas.
Misalnya gangguan atau cedera pada hipotalamus. Bisa juga akibat hipotiroid. Berkurangnya aktivitas hormon tiroid cenderung menyebabkan berat badan bertambah karena terjadinya akumulasi cairan.
Cushing syndrome, suatu penyakit langka dimana terjadi peningkatan kadar hormon steroid, juga bisa membuat obesitas, wajah bulat (moon face), dan otot lemah. Obesitas juga dihubungkan dengan sindroma polikistik ovarium.
Beberapa jenis obat bisa pula memicu terjadinya peningkatan berat badan.
Ini obat yang umumnya meningkatkan nafsu makan. Misalnya, obat golongan steroid, terapi hormonal pada wanita (termasuk pil KB), obat antidepresan, dan antipsikotik.