Jokowi Evaluasi Penempatan TNI di Lembaga Sipil, Imbas Korupsi di Basarnas
Share
PENUTUR.COM – Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di lingkungan Basarnas menyeret dua orang perwira aktif TNI, yaitu Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto.
Dalam OTT yang menetapkan dua orang perwira TNI tersebut menjadi tersangka, belakangan menuai polemik khususnya dari institusi TNI.
Pihak TNI merasa keberatan dengan tindakan KPK yang dianggap tidak berkoordinasi apalagi melibatkan dua perwiranya yang kini bertugas di Basarnas.
Pimpinan KPK bahkan sempat meminta maaf, mengaku khilaf atas OTT yang dilakukan. Bahkan Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu mengundurkan diri akibat kejadian itu.
Melhat tarik menarik pengusutan korupsi di lingkungan Basarnas, Presiden Joko Widodo akhirnya angkat bicara.
Presiden Jokowi menyebut dirinya bakal mengevaluasi penempatan perwira tinggi di lembaga sipil buntut terjadinya korupsi di tubuh Basarnas yang melibatkan dua prajurit TNI aktif.
Evaluasi perlu dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa mendatang. Presiden Jokowi mengaku tidak ingin ada penyelewengan kekuasaan lagi yang dilakukan perwira TNI.
“Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu [kasus suap Basarnas]. Semuanya, karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi,” kata Presiden Jokowi di hadapan awak media, Senin, (31/7).
Seharusnya, lanjut Presiden Jokowi penetapan tersangka terhadap Kepala Basarnas tidak perlu menimbulkan polemik jika ada koordinasi antara instansi terkait dalam proses penegakan hukum.
Ia mengingatkan koordinasi perlu dilakukan instansi pemerintah sesuai kewenangan masing-masing.
“Menurut saya, masalah koordinasi ya, masalah kooridnasi yang harus dilakukan semua instansi sesuai dengan kewenangan masing-masing menurut aturan. Sudah, kalau itu dilakukan, rampung,” kata Jokowi.
Diketahui, KPK sebelumnya menetapkan Kepala Basarnas periode 2021-2023, Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka atas dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa.
Ia diduga memanipulasi sejumlah pengadaan proyek dalam sistem lelang elektronik LPSE di Basarnas.
Henri dikabarkan menerima suap hingga Rp88,3 miliar. Uang itu merupakan fee yang besarnya 10% dari sejumlah pengerjaan proyek hasil lelang di Basarnas.
Namun, polemik muncul setelahnya. Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI merasa, Henri yang berstatus prajurit TNI aktif mestinya diproses hukum oleh mereka, bukan oleh KPK kendati kepala Basarnas adalah jabatan sipil.
Atas peristiwa tersebut, KPK akhirnya meminta maaf setelah pertemuan itu. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, mengakui ada kekeliruan dan kekhilafan saat melakukan penangkapan.
“Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI,” ujar Johanis Tanak