Banting Harga, Starlink Diduga Terapkan Predatory Pricing di Indonesia
Share
PENUTUR.COM – Starlink penyedia internet berbasis satelit milik Elon Musk belum lama ini melakukan peluncuran perdana di Indonesia.
Starlink disebut-sebut menjanjikan kecepatan internet di atas 200 Mbps dan mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah terpencil.
Yang menjadi sorotan masyarakat adalah untuk dapat menikmati kecepatan internet Starlink di Indonesia, masyarakat cuma merogoh kocek per bulan Rp.750 ribu.
Sebelum menikmati layanan internet, masyarakat tentu harus membeli perangkat dan kini harganya juga murah karena lagi ada promo diskon atau potongan harga 40 persen hingga 10 Juni 2024 mendatang.
Harga perangkat penunjang Starlink di Indonesia tadinya Rp.7,8 juta, mendapat diskon 40 persen jadi cuma Rp.4,68 juta.
Namun harga yang sangat murah tersebut diduga Starlink menerapkan strategi predatory pricing atau penjualan produk dengan harga yang terlampau murah.
Bahkan harga Starlink yang murah mampu mengalahkan bisnis telekomunikasi lokal di Indonesia. Misal salah satunya MangoeSky yang harganya per bulan mulai dari Rp.3,6 juta.
Melihat harga yang selisihnya jauh, maka dikhawatirkan timbul persaingan tidak sehat. Terlebih promo besar yang berlangsung hingga 10 Juni 2024 mendatang.
Starlink yang diduga menerapkan predatory pricing membuat anggota Komisi Perdagangan dan Persaingan Usaha (KPPU), Hilman Pujana pun angkat bicara.
Hilman mengatakan apa yang dilakukan Starlink di Indonesia belum tentu dikategorikan sebagai predatory pricing.
Sebab kata Hilman, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi supaya KPPU bisa mengkategorikan suatu usaha melakukan permainan harga, dan Starlink dianggap tidak memenuhi syarat tersebut.
“Dari sisi praktik, predatory pricing butuh proses, bukan hanya bicara ‘orang jual lebih murah’. Bukan seperti itu konsepnya, ada beberapa syarat sebelum bisa disebut predatory pricing,” kata Hilman dalam acara Focus Group Discussion yang dilakukan KPPU di Jakarta, dikutip Minggu (2/6).
Maka Hilman pun meminta kepada seluruh pihak untuk hati-hati dalam menggunakan istilah predatory pricing. “Artinya, penggunaan istilah predatory pricing ini harus hati-hati. Harga murah jangan langsung dituduh predatory pricing,” imbuh Hilman.
Hilman tak menyebutkan syarat atau faktor apa saja yang menjadi penanda bahwa suatu perusahaan melakukan kegiatan predatory pricing.
Dalam kesempatan yang sama, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Ine Minara menjelaskan bahwa kegiatan predatory pricing harus dibuktikan melalui sejumlah pengujian.
Pengujiannya salah satunya yang mungkin dilakukan adalah dengan cara menganalisis proses dan kegiatan bisnis suatu perusahaan dalam waktu tertentu.
“Predatory pricing merujuk pada penetapan harga dengan niat menyingkirkan pesaing. Hal ini diterapkan untuk memonopoli pasar hingga semua pesaing tersingkir, tetapi setelah itu perusahaan tersebut harus mampu memulihkan kerugian yang diderita selama masa predatory pricing,” kata Ine di acara yang sama.
Terkait diskon besar yang diberikan Starlink di Indonesia, Ine mengatakan hal ini bukan merupakan salah satu penanda bahwa mereka melakukan predatory pricing.
“Diskon Starlink ini kan ada batas waktu sampai 10 Juni 2024. Nah, ini bukan predator, kalau predator itu dia melakukan permainan harga sampai jangka waktu tak terbatas, sampai kompetitor tersingkir,” pungkasnya.