Soal Urusan Penangkapan Netanyahu, Pemerintah Inggris Kini Serahkan Sepenuhnya ke ICC
Share
PENUTUR.COM – Pemerintahan baru Inggris diketahui telah membatalkan permintaan pendahulunya terhadap yurisdiksi Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Kepala jaksa ICC telah meminta surat perintah penangkapan bagi Netanyahu dan menteri pertahanannya, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang, yang membuat marah Israel dan sekutu terdekatnya, Amerika Serikat.
Dia juga meminta surat perintah serupa untuk tiga pemimpin kelompok militan Palestina Hamas.
Inggris, yang merupakan salah satu negara anggota ICC, telah meminta pengadilan agar diizinkan untuk mengajukan observasi hukum mengenai apakah ICC dapat menerapkan yurisdiksi atas warga Israel dalam keadaan di mana Palestina tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidana terhadap warga negara Israel (berdasarkan) Perjanjian Oslo.
Namun sejak itu, Partai Buruh yang berhaluan kiri-tengah telah mengambil alih kekuasaan dari Partai Konservatif melalui pemilu, dan juru bicara Perdana Menteri Keir Starmer mengatakan kepada wartawan pemerintahan baru akan membatalkan permintaan
“Sejalan dengan posisi lama kami bahwa hal ini adalah masalah yang harus diselesaikan pengadilan untuk memutuskan,” katanya dilansir Reuters, Jumat, 26 Juli.
“Pemerintah sangat percaya pada supremasi hukum, baik secara internasional maupun domestik, dan pemisahan kekuasaan.”
Meskipun Partai Konservatif seringkali menentang yurisdiksi supranasional selama 14 tahun kekuasaan mereka, termasuk Uni Eropa dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, Starmer, mantan pengacara, memberikan pendapat yang berbeda.
Pekan lalu dia mengatakan kepada para pemimpin Eropa pemerintahannya akan sangat menghormati hukum internasional.
ICC, yang menangani kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, telah menyelidiki kedua belah pihak dalam konflik antara Israel dan Palestina sejak tahun 2021.
Pada tahun itu, ICC memutuskan mereka memiliki yurisdiksi setelah otoritas Palestina mendaftar ke pengadilan tersebut pada tahun 2015, dan telah dijadikan negara pengamat PBB.
Beberapa cendekiawan dan negara-negara anggota mengatakan keputusan tersebut meninggalkan keputusan mengenai penafsiran Perjanjian Oslo tahun 1993 mengenai yurisdiksi Palestina atas warga negara Israel untuk tahap selanjutnya dalam proses persidangan.