Jimly Asshiddiqie Sebut Usulan Hak Angket Hal Biasa dalam Demokrasi
Share
PENUTUR.COM – Wacana usulan hak angket DPR untuk mengusut adanya kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 mulai digulirkan dari koalisi pendukung paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Pro kontra muncul, ada yang menganggap hak angket tidak diperlukan karena ada Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi. Tapi di pihak lain, hak angket sangat diperlukan mengingat Bawaslu dan MK yang dianggap sudah tidak memiliki legitimasi lagi.
Di balik riuhnya beda pendapat itu, eks Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa persoalan hak angket hanyalah sebuah hal biasa dalam dinamika demokrasi.
Jimly juga menyatakan selama 10 tahun Jokowi menjadi presiden, hak angket belum pernah digunakan.
“Semua presiden itu mulai dari Pak Habibie, Megawati, Gus Dur, SBY, semua sudah mengalami hak angket, dipakai DPR, masa 10 tahun terakhir hak angket enggak pernah ada dipakai DPR, jadi enggak apa-apa ini,” lanjutnya.
Karena itu adanya hak angket di era pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengungkap berbagai kecurangan Pemilu 2024 seperti yang dituduhkan berbagai pihak perlu diapresiasi.
“Memang harus diperhatikan supaya terarah, kalau tidak terarah bisa melebar kemana-mana, tapi adanya angket ini misalnya terjadi saya malah apresiasi dalam catatan sejarah di era pemerintahan Jokowi hak angket dipakai,” kata Jimly di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (26/2).
Ia menegaskan bahwa hak angket tidak sampai ke pemakzulan terhadap presiden dan wakil presiden pengganti Jokowi.
“Tidak bisa, itu lain lagi. Kalau impeachment itu pernyataan pendapat. Jadi kan ada interpelasi ada angket, ada pernyataan pendapat, nah pernyataan pendapat itu mekanisme sendiri lagi,” ucap Jimly.
Dirinya mengatakan bahwa angket hanya digunakan untuk menemukan pelanggaran humum Pemilu atau Pilpres 2024.
“Sepanjang yang berkaitan dengan pemilu sudah ada mekanisme, misal tindak pidana pemilu ada enggak di Bawaslu kalau berkenaan dengan pelanggaran-pelanggaran yang disebut-sebut kecurangan itu kan di Bawaslu,” kata Jimly.
Jimly menyatakan bahwa jika pemerintah dipanggil secara paksa oleh DPR, pemerintah perlu menjelaskan kewajiban-kewajiban mereka terkait dengan pemilu.
Ini mencakup penerbitan undang-undang pemilu, pengaturan anggaran dalam APBN untuk pemilu, penentuan struktur dan peraturan bagi lembaga-lembaga terkait seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP, serta peraturan pelaksanaan pemilu.
“Itulah keterlibatan pemerintah dalam urusan kepemiluan, selebihnya tanggung jawab KPU, Bawaslu, DKPP,” jelas Jimly.