Buntut Pernyataan Presiden Boleh Kampanye, Bivitri Susanti Desak DPR Ajukan Hak Interpelasi
Share
PENUTUR.COM – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut presiden boleh kampanye dan memihak paslon yang didukungnya, mendapat kritikan dari berbagai kalangan.
Bagaimana tidak? Sebelumnya, Jokowi berkali-kali meminta aparat TNI/Polri, ASN hingga pejabat publik mulai dari Menteri, Gubernur hingga Kepala Desa untuk bersikap netral dalam Pilpres 2024 ini.
Namun, kini sikapnya berbalik, bahkan untuk seorang presiden yang sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan pun kini menyebut dirinya boleh berpihak dan berkampanye.
Para Pakar Hukum Tata Negara yang tergabung dalam FALS (Constitutional and Administrative Law Society) yang diwakili Bivitri Susanti, meminta DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk mengajukan hak interpelasi dan hak angket guna menginvestasi dugaan penyalahgunaan kekuasaan Jokowi di Pilpres 2024.
“Kami mendesak, DPR RI mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024,” ucap Bivitri mewakil CALS pada Kamis, (25/1).
Menurut Bivitri Susanti, pejabat publik termasuk presiden tidak seharusnya berlindung di balik pasal-pasal yang mengesampingkan etik.
“Seluruh penyelenggara negara (presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota) untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik,” katanya lagi.
Bivitri menambahkan jika ada pejabat publik yang berniat berkampanye dan memihak salah satu paslon maka disarankan untuk mundur karena dinilai jauh lebih etis.
“Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hari ini,” tegasnya.
Bivitri Susanti pun meminta pihak Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) untuk menjalankan tugasnya dengan baik mengawal kecurangan Pemilu yang kemungkinan bakal terjadi imbas pernyataan presiden tersebut.
“Kami mendesak, Bawaslu menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat TSM untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum,” ujar Bivitri.
Di sisi lain, Bivitri juga meminta Mahkamah Konstitusi mulai menelaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti.
“Dalam kaitannya dengan kecurangan yang bersifat TSM, dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan (berikut kebijakan dan anggaran) yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini,” kata Bivitri.
Bivitri juga mendesak Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kebolehan berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya.