Kenali Apa Penyebab Rasa Takut yang Berlebihan
Share
PENUTUR.COM – Ada orang yang sangat takut dengan ruangan sempit, atau takut ketinggian. Ada pula yang histeris ketika melihat benda-benda berlubang.
Kalau menurut ilmu psikiatri, mereka bisa digolongkan sebagai penderita fobia, suatu gangguan yang ditandai oleh ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap obyek atau situasi tertentu.
Rasa takut ini tidak bisa dikuasai oleh yang bersangkutan, penderita fobia biasanya menghindari obyek atau situasi yang menimbulkan rasa takut tersebut.
Fobia bisa dibagi menjadi tiga kelompok utama:
Pertama, fobia sederhana atau spesifik, yaitu fobia terhadap suatu obyek atau keadaan tertentu, misalnya binatang, tempat tertutup, atau ketinggian. Fobia jenis ini adalah yang paling umum terjadi.
Kedua, fobia sosial, yaitu fobia terhadap pemaparan situasi sosial.
Penderitanya merasa cemas sekali bila ia menjadi pusat perhatian, misalnya saat berpidato atau presentasi.
Ada pula yang takut berada dalam situasi sosial, penderitanya akan menghindari acara-acara yang ramai seperti pesta, karena takut dicela pakaiannya atau tidak tahu harus ngobrol apa.
Ketiga, fobia kompleks atau agorafobia, yaitu takut terhadap tempat atau situasi yang ramai dan terbuka, misalnya di kendaraan umum atau mal yang padat pengunjung.
Keadaan ini mengakibatkan penderitanya menghindari keramaian, bahkan sampai takut keluar rumah.
Penyebab pasti seseorang menderita fobia belum diketahui. Mungkin ada pengalaman masa lalu yang tidak enak sehingga membuat seseorang melakukan mekanisme pertahanan diri yang bersifat patologis.
Dalam hal ini penderitanya mengatasi masalah dengan tidak sehat, karena ia tidak mampu mengatur dirinya unuk berpikir secara rasional.
Ada beberapa hal yang mendorong seseorang menderita fobia. Bila ada faktor keturunan dari keluarga (orang tua atau nenek), kemungkinan seseorang menderita fobia juga besar.
Faktor pembelajaran dari orang tua juga berpengaruh, misalnya orang tua yang sering melarang atau menakut-takuti.
Bila orang tuanya takut akan sesuatu, bisa jadi anaknya juga akan takut dengan hal tersebut. Ada juga faktor budaya dan lingkungan sosial, seperti kepercayaan, mitos atau tahyul.
Dalam menghadapi obyek fobia, kadang penderitanya bisa disertai serangan panik.
Gejalanya antara lain napas tersengal, berkeringat, jantung berdebar, dan gemetar. Apa jadinya bila penderita fobia dipaksakan menghadapi ketakutannya?
Tergantung dari kondisi fisik dan mentalnya. Bisa jadi penderitanya akan pingsan, atau bila orang tersebut punya sakit jantung, bisa mengakibatkan serangan jantung; yang punya darah tinggi bisa mengalami stroke.
Menilik dari obyeknya, sepertinya tidak semua fobia sudah ada sejak dulu.
Brontophobia (takut petir dan guntur) dan ophidiophobia (takut ular) mungkin sudah ada sejak zaman purba. Tapi electrophobia (takut listrik), motorphobia (takut mobil) atau aviophobia (takut naik pesawat terbang) pastinya baru ada sejak dua abad terakhir.
Kalau jenis fobia yang termasuk baru pasti cyberphobia atau takut komputer. Untuk kasus ringan, penderitanya takut menggunakan komputer dan ATM. Padahal di zaman modern begini, hampir semua sarana terkena sentuhan komputer.
Bila dulu fobia sederhana lebih sering ditemui, tetapi akhir-akhir ini yang paling banyak ditemui adalah fobia sosial.
Penyebabnya mungkin karena dulu kita tidak terlalu terpapar oleh situasi sosial seperti sekarang. Sekarang seseorang sering dituntut lebih banyak tampil di depan publik.
Yang paling banyak menderita fobia adalah perempuan karena pada perempuan yang lebih dominan bekerja adalah otak kanan sehingga lebih banyak memakai perasaan.
Jadi, jika ada hal yang membuat perasaanya tidak enak lebih cepat mempengaruhi emosinya.
Penderita fobia umumnya merasa ketakutannya seperti kekanak-kanakan, konyol, dan sering berusaha menutupinya.
Padahal dengan menutupi keadaan dan menghindar dari hal-hal yang ditakutinya, berarti mereka membatasi kehidupannya. Jadi, sebelum fobia menjadi parah, perlu segera ditanggulangi.
Pengobatan fobia diawali dengan psikoterapi, antara lain dengan mengidentifikasikan masalahnya, dan mencari penyebabnya. Selanjutnya mereka diajarkan untuk menghadapi ketakutannya, dan perlahan-lahan belajar mentoleransi kecemasan.
Terapi dengan obat kadang perlu diberikan, dan biasanya akan diberikan obat-obatan anti depresan. Obat-obatan ini biasanya diberikan bila penderitanya tidak mau atau tidak bisa berespon terhadap psikoterapi.