Saldi Isra Beberkan Ada Hakim MK yang Bernafsu Ingin Perkara Batas Usia Capres-Cawapres Cepat Diputus
Share
PENUTUR.COM – Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023
Permohonan tersebut diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.
Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi salah satu hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan terdapat.
Saat menyampaikan poin beda pendapat, Saldi mengakui ada keanehan yang luar biasa dalam putusan itu.
Ia menyebut putusan itu jauh dari batas penalaran yang wajar, karena dia mengklaim mahkamah berubah pendirian dalam sekejap.
“Sejak saya menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa,” kata Saldi di Gedung MK RI, Jakarta, Senin (16/10).
“Dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” tambahnya.
Mulanya, Saldi mengatakan ada perdebatan di antara para hakim konstitusi yang terjadi dalam proses pembahasan di Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Perdebatan ini terjadi karena belum menemukan titik terang perkara tersebut. Karenanya, ada hakim konstitusi yang mengusulkan penundaan pembahasan.
“Ketika pembahasan di RPH, titik temu (arsiran) termasuk masalah yang menyita waktu dan perdebatan. Karena perdebatan yang belum begitu terang terkait masalah amar tersebut, ada di antara Hakim Konstitusi mengusulkan agar pembahasan ditunda,” ujar Saldi.
“Dan tidak perlu terburu-buru serta perlu dimatangkan kembali hingga Mahkamah, in casu lima Hakim yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian”, benar-benar yakin dengan pilihan amar putusannya,” jelasnya.
Saldi mengatakan bagi hakim yang mengusulkan ditunda, hal itu tidak akan menunda dan mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Namun demikian, Saldi mengatakan ada hakim konstitusi yang terkesan terlalu bernafsu ingin perkara ini cepat diputus. Namun Saldi tidak menyebut nama hakim konstitusi yang dimaksud.
Sebelumnya, dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PPU-XXI/2023, mahkamah menyatakan ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk UU untuk mengubahnya, dan putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk UU.
“Apakah mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak terjadi secepat ini,” kata Saldi.
Saldi berpendapat perubahan atau penambahan terhadap persyaratan capres dan cawapres sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review, dengan cara merevisi UU yang dimohonkan olah para pemohon.
“Bukan justru melempar bola panas kepada Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat jelas ini, justru diambil alih dan dijadikan beban politik mahkamah untuk memutusnya,” ujar Saldi.
Ia mengaku khawatir MK menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik yang pada akhirnya meruntuhkan kepercayaan publik kepada MK.
“Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” kata Saldi.