Tari Caci, Adu Pecut Tanpa Rasa Takut
Share
PENUTUR.COM – Dua pria tegap berdiri saling berhadapan. Satu memegang cambuk, yang lain bersiap menangkisnya. Didahului dengan seorang pemuda yang tampak bernyanyi menantang pria dari kelompok lawan.
Tantangan itu disambut senandung dari kelompok sebelah. Pemuda dari kelompok yang ditantang maju dengan gerakan tarian. Tangan, kepala, dan kakinya bergerak seirama lagu yang dimainkan.
Cetaarr!! Suara cambuk atau pecut menyalak mengenai tubuh pria didepannya. Luka memerah terlihat pada bagian tubuh yang terkena sabetan cambuk tersebut. Pemuda tadi balas memecut. Tapi, sang lawan pandai berkelit, serangannya membentur tameng.
Sekali lagi, cetaar!… kali ini, serangan pemuda yang terluka itu mengenai sasaran. Anehnya, tidak tampak rasa kesakitan pada wajah pria lawan meski sabetan pecut begitu keras. Hahaha… justru gelak tawa dan sorak sorai membuncah mengiringi adegan menegangkan tersebut.
Itulah tari caci. Sebuah tarian perang khas Manggarai di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang melambangkan simbol kepahlawanan dan keperkasaan. Tarian ini memang melibatkan dua orang pria.
Yang satu bertindak sebagai penyerang dan pihak lain harus bertahan atau penangkis serangan. Terdapat dua kelompok yang saling berhadapan dengan masing-masing beranggotakan delapan orang.
Para penari Caci mangaku sangat menikmati permainan ini. mereka sama sekali tidak ada rasa gentar meski harus terkena cambuk dari sang lawan. Ditengah terik matahari penari caci berkesemptan menunjukkan aksinya.
Mereka mengambil ancang-ancang memutar-mutar cambuk di udara, melompat, mengumpulkan seluruh tenaga untuk melakukan serangan dengan mencambuk lawan.
Gaya penari caci yang bersiap melakukan pertarungan membuat membuat lonceng yang melilit pinggang dan kaki begitu berisik, membuat penonton menahan napas, ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi.
Sementara yang diserang telah melindungi kepalanya dengan topi dan menutupi wajahnya dengan kain dan tak lupa memegang tameng untuk menahan diri dari serangan.
Konon, bagian tubuh yang terkena cambuk akan menjadi penanda penting. Jika bagian punggung yang terkena cambuk, itu tandanya panen akan menjanjikan.
Dalam perkembangannya, Caci biasa diadakan pada saat upacara pembukaan lahan baru, upacara penyambutan tamu dan saat hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Hanya Pria Pilihan
Tidak semua orang Manggarai layak menjadi peserta Caci. Selain harus pria, persyaratan lain adalah mahir memukul lawan, terampil menangkis serangan, berbadan ateltis, luwes dalam melakukan gerak tari, juga serta dapat menyanyikan lagu daerah.
Permainan caci ini juga dijadikan pelajaran berharga bagi anggota suku Manggarai dalam mengendalikan emosi. Maklum, meski saling mencambuk , tata krama dan sopan santun dalam gerakan di arena tetap dilakukan. Para pemain tetap memberi hormat pada lawan setiap beradu.
Tak sama seperti beberapa bela diri lain, dalam Caci boleh menyerang bagian tubuh dari perut hingga kepala tetapi tidak bagian perut ke bawah. Acap kali mengenai mata pun sudah menjadi hal lumrah.
Sebelum Caci dilangsungkan, sebuah pemanjatan nyanyian bernama kelong dialunkan sebagai panggilan kepada arwah para leluhur. Saat kelong dilantunkan, dan tandak atau danding mengikuti, maka Caci harus dilaksanakan. Tidak ada kelong tanpa Caci dan sebaliknya.
Dalam penuturan para orang tua Manggarai, di masa lalu, beberapa penari caci bahkan mengalami kondisi Beke atau Rowa yang parah seperti biji mata yang jatuh ke tanah.
Para tetua adat meyakini, kondisi ini disebabkan oleh sikap si petarung yang melupakan adat, atau tidak menghormati tradisi, atau juga melanggar ketentuan-ketentuan adat.
Asal Mula Tari Caci
Masyarakat Manggarai percaya dengan cerita asal mula tarian caci. Dahulu ada dua orang kakak beradik dan seekor kerbau milik mereka yang berjalan melintasi padang rumput. Si adik tiba-tiba terjerumus ke dalam sebuah lubang yang membuat sang kakak panik dan berusaha menarik adiknya.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali dengan menyembelih kerbau miliknya lalu diambil bagian kulit sebagai alat untuk menarik sang adik. Upayanya berhasil, dan sang adik berhasil diselamatkan. Maka untuk merayakan kejadian itu mereka menciptakan permainan Caci sebagai wujud rasa kasih sayang.
Penghargaan terhadap pengorbanan si kerbau ditunjukkan pada beberapa aksesoris yang dipakai pada permainan caci. Jika diperhatikan, pakaian yang dikenakan penari Caci memang terlihat unik dan menarik.
Mereka mengenakan celana panjang berwarna putih dipadu dengan kain songke yang dipakai dari batas pinggang hingga lutut. Tubuh bagian atas dibiarkan telanjang sebab tubuh tersebut adalah sasaran bagi serangan lawan.
Pada bagian kepala, para penari mengenakan topeng (panggal). Bentuknya menyerupai tanduk kerbau dan memang terbuat dari kulit kerbau yang keras serta dihiasi kain warna-warni. Panggal akan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk atau destar sebagai pelindung.
Sementara itu, penari yang berperan sebagai penangkis serangan (ta’ang) dibekali perisai (nggiling) yang juga terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan dan berbentuk bundar. Selain itu, ia juga memegang sejenis busur (agang atau tereng) yang terbuat dari bambu dan rotan yang berjalin dan dibentuk melengkung serupa busur.