LOADING

Ketik di sini

Gaya Hidup

Suku Baduy Bertahan dalam Kearifan Lokal

Share
PENUTUR.COM –

PENUTUR.COM – Perkampungan masyarakat baduy terletak didaerah aliran sungai Ciujung, pegunungan Kendeng. Daerah tersebut dikenal sebagai wilayah titipan dari nenek moyang yang tidak boleh dirusak.

Meskipun dibagi menjadi dua golongan oleh masyarakat luar menjadi Suku Baduy Dalam dan Luar, pada dasarnya masyarakat Baduy sendiri hanya menganggap ada satu Baduy.

Masyarakat etnis Sunda ini hidup bersama bersinergi dengan alam di wilayah Banten, tepatnya di pegunugan Kendeng, desa Kanekes, Kabupaten Lebak.

Penggolongan suku baduy menjadi Suku Baduy Dalam dan Luar karena perbedaan mendasar mengenai tataran adat yang diberlakukan keduanya.

Hingga saat ini masyarakat Baduy dalam masih memegang kuat konsep pikukuh (aturan adat yang isi terpentingnya mengenai keapaadaan) secara mutlak dalam kesehariannya sehingga banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan.

Hal ini berbeda dengan cara hidup masyarakat Baduy luar yang secara garis besar sudah sedikit terkontaminasi budaya modern.

Memiliki Dua Kelas Sosial

Dilihat dari jumlah penduduknya, masyarakat baduy luar atau urang penamping memiliki kelompok besar berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung di bagian utara Kanekes seperti daerah kaduketuk, cikaju, gajeboh, kadukolot, Cisagu.

Sementara di bagian selatan yang terletak di pedalaman hutan ditempati masyarakat Baduy dalam atau urang Dangka yang hanya berpenduduk ratusan jiwa serta tersebar di tiga daerah, yaitu kampong Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana.

Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam).

Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di tiga kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.

BACA JUGA  Profil Marshella Aprillia, Mantan Pacar yang Sebut Pratama Arhan Miskin

Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).

Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih.

Tetap Mempertahankan Adat-Istiadat

Suku baduy dalam belum mengenal budaya luar dan terletak di hutan pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar, suku baduy dalam masih memiliki budaya yang sangat asli. Suku baduy dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka.

Bahkan mereka menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk. Suku baduy dalam di kenal sangat taat mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka memakai pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa golok.

Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua yang di pakai suku baduy dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para perempuan yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian modern.

Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai kendaraan bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi, seperti Hp dan TV.

Dalam pembuatan rumah, masyarakat Baduy luar juga menggunakan alat bantu seperti palu, gergaji, dan sebagainya yang masih dilarang keras untuk dipergunakan oleh masyarakat Baduy dalam.

Begitu juga dengan penggunaan bahan kimia seperti sabun dan sampo yang diperbolehkan digunakan oleh masyarakat Baduy luar, sementara masih berupa larangan oleh masyarakat Baduy dalam karena dianggap dapat mencemari alam.

BACA JUGA  Survey membuktikan, seberapa Gen Milenial Peduli Lingkungan Hidup?

Bukan hanya pantangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Baduy, penduduk luar yang berkunjung pun wajib menaati pantangan yang diberikan, terutama yang diberlakukan oleh masyarakat tertutup dari Baduy dalam.

Mandiri Dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup

Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.

Untuk Baduy Dalam, ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri.

Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi.

Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.

Dari semua kebudayaan suku baduy yang terdengar aneh, budaya yang satu ini merupakan suatu hal yang mengherankan yakni bulan puasa khas yang dilakukan oleh masyarakat baduy yang dikenal juga dengan sebutan ‘Kawalu’.

Ketika suku Badui sedang melaksanakan Kawalu, maka orang-orang asing di luar suku Badui tidak boleh memasuki wilayah mereka. Pelaksanaan Kawalu dalam setahun adalah tiga bulan berturut-turut. Ketika pelaksanaan Kawalu seluruh suku Badui fokus mengerjakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan bulan puasa Kawalu ini.

BACA JUGA  Roberto Mancini Terima Pinangan Menjadi Pelatih Timnas Arab Saudi

Tags: