LOADING

Ketik di sini

Gaya Hidup

7 Mitos Seputar Rematik yang Tidak Berdasarkan Fakta

Share
Sakit rematik. Gambar: Stefamerpik @Freepik

PENUTUR.COM – Ada beberapa gangguan kesehatan yang populer dikaitkan dengan faktor usia lanjut. Salah satunya adalah rematik.

Jumlah kasusnya terus meningkat. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, penderita rematik tahun 2015 sebanyak 72.675 kasus dan tahun 2019 menjadi 102.995 kasus.

Rematik bisa didefinisikan sebagai semua gangguan yang menyebabkan rasa sakit dan kekakuan pada otot dan sendi. Secara kasar, ada sekitar 100 ragam rematik yang sejauh ini bisa diidentifikasi.

Sementara itu, berdasarkan tempat terjadinya gangguan, penyakit rematik dipilah menjadi dua kategori.

Pertama, rematik yang menyerang organ di luar sendi seperti siku atau bahu. Nama lain gangguan ini adalah ekstra-artikuler.

Kelompok ini mencakup 50 sampai 60 persen jumlah penderita rematik secara keseluruhan.

Kedua, rematik yang menyasar organ sendi atau kerap juga disebut arthritis atau artikuler.

Kelompok ini mencakup 40 persen hingga 50 persen dari penyakit rematik. Contoh jenis rematik dalam himpunan ini antara lain rheumatoid arthritis (menyerang tulang rawan), gout (menyerang asam urat), dan osteoarthritis (rematik yang menyerang tulang belakang).

Penyebab penyakit ini belum diketahui secara jelas. Tak pelak, hal ini membangkitkan sejumlah mitos yang jauh dari kebenaran.

Berikut adalah sejumlah mitos yang lumayan santer beredar di masyarakat dan dirangkum dari pelbagai sumber.

Mitos 1: Rematik hanya menyerang orang tua
Sebagian besar penderita rematik adalah orang lanjut usia memang benar. Namun rematik dapat hinggap pada semua golongan umur, bahkan pada anak-anak.

Lihat saja, rheumatoid arthritis umumnya menyerang kalangan berusia antara 25 dan 50 tahun. Yang lebih pas, semakin tua seseorang, semakin serius dampak rematik yang dideritanya.

Mitos 2: Rematik disebabkan kebiasaan mandi malam
Menurut banyak pakar medis, kebiasaan madi malam lebih tepat disebut sebagai pencetus ketimbang penyebab.

BACA JUGA  Komentari Aksi Bullying Siswa SMP di Cilacap, Mellisa Anggraini:Pelaku Tak Layak Dilindungi

Sebab, seseorang yang telah menderita rematik bakal merasa bertambah nyeri setalah terpapar hawa dingin akibat mandi di malam hari.

Tapi, itu pun tidak absolut. Pasalnya, ada juga penderita rematik yang biasa mandi malam dan tak terjadi apa-apa.

Mitos 3: Rematik tak bisa dicegah
Jika penyebabnya belum bisa dipastikan, tindakan preventif yang bisa ditempuh pun setali tiga uang.

Kendati demikian, para pakar kedokteran sepakat, olahraga secara teratur dan terukur diyakini dapat mengurangi risiko rematik, khususnya jenis osteoarthritis.

Olahraga seperti berenang dan naik sepeda, merupakan olahraga terbaik lantaran menggerakkan semua sendi.

Sikap tubuh ketika melakoni aktivitas rutin perlu diperhatikan. Contohnya, saat mengangkat benda berat, jangan membebani seluruh punggung. Sikap duduk yang sering melengkungkan tulang belakang secara berlebihan juga perlu dihindari.

Mitos 4: Rematik hanya menyerang sendi
Sebenarnya, rematik bisa mempengaruhi berbagai bagian tubuh, termasuk otot, kulit, mata, jantung, paru-paru, dan organ lainnya.

Bukan hanya sendi, tetapi juga organ-organ ekstra-artikuler dapat terkena dampak.

Mitos 5: Rematik adalah hasil dari cuaca dingin
Beberapa orang percaya bahwa cuaca dingin dapat memicu atau memperburuk gejala rematik.

Meskipun beberapa individu merasa lebih nyeri saat cuaca dingin, hubungan ini tidak selalu berlaku untuk semua penderita rematik, dan faktor-faktor lain seperti kelembaban, tekanan atmosfer, dan faktor genetika juga berperan.

Mitos 6: Semua jenis rematik memiliki gejala yang sama
Kenyataannya, ada banyak jenis rematik dengan gejala yang berbeda-beda. Misalnya, rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan gout memiliki karakteristik dan penanganan yang berbeda.

Mitos 7: Makanan tertentu bisa menyebabkan rematik
Beberapa orang beranggapan bahwa makanan tertentu seperti tomat, telur, atau makanan pedas dapat menyebabkan rematik. Namun, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim ini secara umum.

BACA JUGA  Pentingnya Tes TORCH Sebelum Hamil bukan Saat Hamil
Tags: